Jumat, Juni 13, 2008

Pengumuman Hasil Ujian Nasional SMKN 1 Geger Tahun 2007/2008

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN
DINAS PENDIDIKAN
SMK NEGERI 1 GEGER
Jl. Raya Nglandung Kec. Geger Telp./Fax. 0351366099 Madiun
Email : smkn1_geger@yahoo.com


PENGUMUMAN

Diumumkan kepada seluruh siswa kelas III bahwa Hasil Ujian Nasional SMK Negeri 1 Geger Tahun Pelajaran 2007/2008 LULUS 100 %. Untuk itu saya sampaikan "SELAMAT" atas keberhasilan kalian semua semoga di masa-masa yang akan datang kalian akan lebih Sukses lagi.
Dalam rangka mensyukuri kenikmatan yang sudah kalian terima, maka dimohon anak-anak kelas III memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
  1. Lakukanlah sujud syukur atas karunia Allah SWT yang telah kalian terima.
  2. Tidak diperkenankan mencorat-coret baju yang masih layak pakai, lebih bermanfaat jika diberikan kepada orang yang membutuhkan.
  3. Tidak diperkenankan Konvoi di jalan dengan sepeda motor, tanpa helm dan tidak mentaati Peraturan lalu lintas.
  4. Jangan berhura-hura yang berlebihan, sebab tantangan ke depan akan lebih keras lagi.
Demikian pengumuman ini disampaikan, untuk lebih jelasnya pengumuman akan dipasang disekolah setelah jam 12.00


Kepala SMK Negeri 1 Geger

ttd.

SUDARMAN, S.Pd. M.KPd.
Pembina
NIP. 131 811 820

Kamis, Juni 12, 2008

UJIAN NASIONAL PENDIDIKAN KESETARAAN (UNPK) BAGI SMK

Pemerintah membuat kebijakan khusus dalam mengatasi permasalahan anak SMA yang tidak lulus yaitu diikutkan dalam UNPK Paket C yang akan dilaksanakan tanggal 24 Juni - 27 Juni 2008 dengan materi ujian IPA meliputi Mata Pelajaran : PKn, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Biologi, Kimia, Fisika dan Matematika.
Menurut rencana anak-anak SMK dari semua Bidang Keahliah : TEKNIK MESIN, TI, BISNIS MANAJEMEN, PERHOTELAN DAN PARIWISATA, PERTANIAN DAN KEHUTANAN, KELAUTAN, TEKSTIL dll. yang tidak lulus dalam ujian nasional juga akan diarahkan untuk mengikuti UNPK Paket C kelompok IPA.
Kurikulum yang berlaku di SMA dan SMK jelas jauh berbeda, baik tujuan, kompetensi, kedalaman materi, mata pelajaran yang diajarkan dan seterusnya. Mengapa kita terlalu memaksakan anak-anak SMK untuk ikut UNPK ? saya yakin seyakin yakinnya bahwa UNPK untuk anak SMK jelas akan menyesatkan. Mereka tidak mungkin mampu mengikuti ujian dengan materi yang sama dengan materi SMA. Mengapa pemerintah tidak meluncurkan kebijakan UNPK khusus untuk anak-anak SMK ?
Saya sangat setuju denga pendapat Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung yang melarang anak-anak SMK untuk ikut ujian UNPK. Jika dipaksakan untuk ikut, maka anak-anak SMK akan banyak dirugikan. Lebih baik anak-anak SMK yang tidak lulus untuk mengikuti Ujian Nasioanl tahun 2009, sehingga Kompetensi yang diperoleh di SMK akan sesuai dengan ijazah yang dimilikinya.
Persoalan ini tentunya menjadi PR bagi Direktorat Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan untuk mencari terobosan bagi anak-anak SMK yang tidak lulus, sehingga persoalan ini tidak akan muncul lagi di masa yang akan datang.

Selasa, Juni 10, 2008

Manajemen Berbasis Sekolah

Manajemen Sekolah Dalam Teori

MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dengan maksud agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan.

MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dengan maksud agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan. Pada sistem MBS sekolah dituntut secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah.

MBS juga merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi siswa. Hal ini juga berpotensi untuk meningkatkan kinerja staf, menawarkan partidipasi langsung kepada kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman kepada masyarakat terhadap pendidikan.

Pengertian MBS

“Suatu konsep yang menempatkan kekuasaan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan diletakkan pada tempat yang paling dekat dengan proses belajar mengajar “

Tujuan MBS

Tujuan utama penerapan MBS pada intinya adalah untuk penyeimbangan struktur kewenangan antara sekolah, pemerintah daerah pelaksanaan proses dan pusat sehingga manajemen menjadi lebih efisien. Kewenangan terhadap pembelajaran di serahkan kepada unit yang paling dekat dengan pelaksanaan proses pembelajaran itu sendiri yaitu sekolah. Disamping itu untuk memberdayakan sekolah agar sekolah dapat melayani masyarakat secara maksimal sesuai dengan keinginan masyarakat tersebut.

Tujuan penerapan MBS adalah untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya MBS bertujuan untuk:

  1. meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia;
  2. meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;
  3. meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orangtua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan
  4. meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.

Prinsip dan Implementasi MBS

Prinsip utama pelaksanaan MBS ada 5 (lima) hal yaitu:

  1. Fokus pada mutu
  2. Bottom-up planning and decision making
  3. Manajemen yang transparan
  4. Pemberdayaan masyarakat
  5. Peningkatan mutu secara berkelanjutan

Prinsip MBS

Dalam mengimplementasikan MBS terdapat 4 (empat) prinsip yang harus difahami yaitu: kekuasaan; pengetahuan; sistem informasi; dan sistem penghargaan.

  1. Kekuasaan

Kepala sekolah memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sekolah dibandingkan dengan sistem pendidikan sebelumnya. Kekuasaan ini dimaksudkan untuk memungkinkan sekolah berjalan dengan efektif dan efisien. Kekuasaan yang dimiliki kepala sekolah akan efektif apabila mendapat dukungan partisipasi dari berbagai pihak, terutama guru dan orangtua siswa. Seberapa besar kekuasaan sekolah tergantung seberapa jauh MBS dapat diimplementasikan. Pemberian kekuasaan secara utuh sebagaimana dalam teori MBS tidak mungkin dilaksanakan dalam seketika, melainkan ada proses transisi dari manajemen yang dikontrol pusat ke MBS.

Kekuasaan yang lebih besar yang dimiliki oleh kepala sekolah dalam pengambilan keputusan perlu dilaksanakan dengan demokratis antara lain dengan:

    1. melibatkan semua fihak, khususnya guru dan orangtua siswa.
    2. membentuk tim-tim kecil di level sekolah yang diberi kewenangan untuk mengambil keputusan yang relevan dengan tugasnya
    3. menjalin kerjasama dengan organisasi di luar sekolah.
  1. Pengetahuan

Kepala sekolah dan seluruh warga sekolah harus menjadi seseorang yang berusaha secara terus menerus menambah pengetahuan dan ketrampilan dalam rangka meningkatkan mutu sekolah. Untuk itu, sekolah harus memiliki sistem pengembangan sumber daya manusia (SDM) lewat berbagai pelatihan atau workshop guna membekali guru dengan berbagai kemampuan yang berkaitan dengan proses belajar mengajar. Pengetahuan yang penting harus dimiliki oleh seluruh staf adalah:

    1. pengetahuan untuk meningkatkan kinerja sekolah,
    2. memahami dan dapat melaksanakan berbagai aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan quality assurance, quality control, self assessment, school review, bencmarking, SWOT, dll).
  1. Sistem Informasi

Sekolah yang melakukan MBS perlu memiliki informasi yang jelas berkaitan dengan program sekolah. Informasi ini diperlukan agar semua warga sekolah serta masyarakat sekitar bisa dengan mudah memperoleh gambaran kondisi sekolah. Dengan informasi tersebut warga sekolah dapat mengambil peran dan partisipasi. Disamping itu ketersediaan informasi sekolah akan memudahkan pelaksanaan monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas sekolah. Infornasi yang amat penting untuk dimiliki sekolah antara lain yang berkaitan dengan: kemampuan guru dan Prestasi siswa

  1. Sistem Penghargaan

Sekolah yang melaksanakan MBS perlu menyusun sistem penghargaan untuk memberikan penghargaan kepada warga sekolah yang berprestasi. Sistem penghargaan ini diperlukan untuk mendorong karier warga sekolah, yaitu guru, karyawan dan siswa. Dengan sistem ini diharapkan akan muncul motivasi dan ethos kerja dari kalangan sekolah. Sistem penghargaan yang dikembangkan harus bersifat adil dan merata.

Kewenangan yang Didesentralisasikan

  1. Perencanaan dan Evaluasi

Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sekolah sesuai dengan kebutuhannya (school-based plan). Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu dan berdasarkan hasil analisis kebutuhan mutu inilah kemudian sekolah membuat rencana peningkatan mutu. Sekolah diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil program-program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya.

  1. Pengelolaan Kurikulum

Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum standar yang berlaku secara nasional. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu, dalam impelentasinya sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, dan memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional. Selain itu, sekolah diberi kebebasan untuk mengembanhgkan kurikulum muatan lokal.

  1. Pengelolaan Proses Belajar Mengajar

Proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan penagjaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered) lebih mampu memberdayakan pembelajaran siswa.

  1. Pengelolaan Ketenagaan

Pengelolaan ketenagaaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sanksi (reward and punishment), hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran, dan sebagainya) dapat dilakukan oleh sekolah, kecuali yang menyangkut pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh Pemerintah Pusat/Daerah.

  1. Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan)

Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai pengembangan. Hal ini didasarkan oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya.

  1. Pengelolaan Keuangan

Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami kebutuhannya sehingga desentraslisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan” (income generating activities) sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.

  1. Pelayanan Siswa

Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan/pembinaan/ pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu sudah didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.

  1. Hubungan Sekolah-Masyarakat

Esensi hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan finansial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah didesentraslisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah-masyarakat.

  1. Pengelolaan Iklim Sekolah

Iklim sekolah (fisik dan non fisik) yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan/espektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities) adalah contoh-contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklmi sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstensif.

text: admin

MBS Dalam Praktik

MBS yang menawarkan keleluasaan pengelolaan sekolah memiliki potensi yang besar dalam menciptakan kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi yang profesional. Oleh karena itu, dalam melaksanakan MBS perlu seperangkat kewajiban dan tuntutan pertanggungjawaban (akuntabilitas) yang tinggi kepada masyarakat.

MBS yang menawarkan keleluasaan pengelolaan sekolah memiliki potensi yang besar dalam menciptakan kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi yang profesional. Oleh karena itu, dalam melaksanakan MBS perlu seperangkat kewajiban dan tuntutan pertanggungjawaban (akuntabilitas) yang tinggi kepada masyarakat. Dengan demikian, kepala sekolah harus mampu menampilkan pengelolaan sumber daya secara transparan, demokratis, dan bertanggungjawab baik kepada masyarakat dan pemerintah dalam rangka meningkatkan kapasitas pelayanan kepada siswa.

Perubahan-perubahan tingkah laku kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi dalam mengelola sekolah merupakan syarat utama dari keberhasilan pelaksanaan MBS. Dalam pelaksanaan MBS ini dituntut kemampuan profesional dan manajerial dari semua komponen warga sekolah di bidang pendidikan agar semua keputusan yang dibuat sekolah didasarkan atas pertimbangan mutu pendidikan. Khususnya kepala sekolah harus dapat memposisikan sebagai agen perubahan di sekolah. Oleh karena itu, kepala sekolah harus:

  1. memiliki kemampuan untuk berkolaborasi dengan guru dan masyarakat sekitar sekolah
  2. memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang teori pendidikan dan pembelajaran
  3. memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menganalisa situasi sekarang untuk memperkirakan kejadian di masa depan sebagai input penyusunan program sekolah
  4. memiliki kemampuan dan kemauan dalam mengidentifikasi masalah dan kebutuhan yang berkaitan denga efektifitas pendidikan di sekolah
  5. mampu mamanfaatkan berbagai peluang, menjadikan tantangan menjadi peluang, serta mengkonsepkan arah perubahan sekolah.

Implementasi MBS secara benar akan memberikan dampak positif terhadap perubahan tingkah laku warga sekolah yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah. Berdasarkan 9 kewenangan yang diserahkan kepada sekolah, maka hal yang harus dilakukan oleh kepala sekolah dan warganya adalah seperti diuraikan berikut ini.

  1. Perencanaan dan Evaluasi
    1. Salah satu tugas pokok yang harus dilakukan oleh kepala sekolah sebelum merencanakan program peningkatan mutu sekolah adalah mendata sumber daya yang dimiliki sekolah (sarana dan prasarana, siswa, guru, staf administrasi, dan lingkungan sekitar, dll)
    2. Menganalisis tingkat kesiapan semua sumber daya sekolah tersebut
    3. Berdasarkan data dan analisis kesiapan sumber daya, kepala sekolah dengan warga sekolah secara bersama-sama menyusun program peningkatan mutu sekolah untuk jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek
    4. Menyusun skala prioritas program peningkatan mutu untuk program jangka pendek yang akan dilaksanakan satu tahun ke depan
    5. Menyusun RAPBS untuk program satu tahun ke depan
    6. Menyusun sistem evaluasi pelaksanaan program sekolah bersama dengan warga sekolah
    7. Melakukan evaluasi diri terhadap pelaksanaan program sekolah secara jujur dan tranparan kemudian ditindaklanjuti dengan perbaikan terus-menerus
    8. Melakukan refleksi diri terhadap semua program yang telah dilaksanakan
    9. Melatih guru dan tokoh masyarakat dalam implementasi MBS
    10. Menyelenggarakan lokakarya untuk evaluasi
  2. Pengelolaan Kurikulum
    1. Standar kurikulum 2004 yang akan diberlakukan telah ditentukan oleh pusat, sekolah sebelum menjabarkan kurikulum tersebut harus terlebih dahulu Pemahaman kurikulum (silabus, materi pokok)
    2. Mengembangkan silabus berdasarkan kurikulum
    3. Mencari bahan ajar yang sesuai dengan materi pokok
    4. Menyusun kelompok guru sebagai penerima program pemberdayaan
    5. Mengembangkan kurikulum (memperdalam, memperkaya, dan memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional.
    6. Selain itu, sekolah diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal.
  3. Pengelolaan Proses Belajar Mengajar

Proses belajar mengajar merupakan aktifitas yang sangat penting dalam proses pendidikan di sekolah. Disinilah guru dan siswa berinteraksi dalam rangka transfer ilmu dan pengetahuan kepada siswa. Keberhasilan sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan sangat bergantung pada apa yang dilakukan oleh guru di kelas. Oleh karena itu, guru diharapkan dapat:

    1. Menciptakan pembelajaran yang berpusat pada siswa
    2. Mengembangkan model pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
    3. Jumlah siswa per kelas tidak lebih dari 40 siswa
    4. Memanfaatkan perpustakaan sebagai sumber belajar
    5. Memanfaatkan lingkungan dan sumber daya lain di luar sekolah sebagai sumber belajar
    6. Pemanfaatan laboratorium untuk pemahaman materi
    7. Mengembangkan evaluasi belajar untuk 3 ranah (cognitif, afektif, psikomotorik)
    8. Mengembangkan bentuk evaluasi sesuai dengan materi pokok
    9. Mengintegrasikan life skill dalam proses pembelajaran
    10. Menumbuhkan kegemaran membaca
  1. Pengelolaan Ketenagaan
    1. Menganalisis kebutuhan tenaga pendidikan dan non kependidikan
    2. Pembagian tugas guru dan staf yang jelas sesuai dengan kemampuan dan keahliannya
    3. Melakukan pengembangan staf melalui MGMP, seminar, dll
    4. Pemberian penghargaan (reward) kepada yang berprestasi dan sangsi (punishment) kepada yang melanggar
    5. Semua tenaga yang dibutuhkan tersedia di sekolah sesuai dengan analisis kebutuhan
  2. Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan)
    1. Mengetahui keadaan dan kondisi sarana dan fasilitas
    2. Mengadakan alat dan sarana belajar
    3. Menggunakan sarana dan fasilitas sekolah
    4. Memelihara dan merawat kebersihan
  3. Pengelolaan Keuangan
    1. Semua dana yang dibutuhkan dan akan digunakan dimasukkan dalam RAPBS
    2. Mengelola keuangan dengan transparan dan akuntabel
Pembukuan keuangan rapih
    1. Ada laporan pertanggungjawaban keuangan setiap bulan
  1. Pelayanan Siswa
    1. mengidentifikasi dan membangun kelompok siswa di sekolah
    2. Melakukan proses penerimaan siswa baru dengan transparan
    3. Pengembangan potensi siswa (emosional, spiritual, bakat)
    4. Melakukan kegiatan ekstra kurikuler
    5. Mengembangkan bakat siswa (Olahraga dan seni)
    6. Mengembangkan kreatifitas
    7. Membuat majalah dinding
    8. Mengikuti lomba-lomba bidang keilmuan dan non keilmuan
    9. Mengusahakan beasiswa melalui subsidi silang
    10. Fasilitas kegiatan siswa tersedia dalam kondisi baik

  1. Hubungan Sekolah-Masyarakat
    1. Membentuk Komite Sekolah
    2. Menjaga hubungan baik dengan Komite Sekolah
    3. Melibatkan masyarakat dalam menyusun program sekolah, melaksanakan, dan mengevaluasi
    4. mengembangkan hubungan yang harminis antara sekolah dengan masyarakat
  2. Pengelolaan Iklim Sekolah
    1. Menegakkan disiplin (siswa, guru, staf)
    2. Menciptakan kerukunan beragama
    3. Menciptakan kekeluargaan di sekolah
    4. Budaya bebas narkoba

Minggu, Juni 08, 2008

Rabu, Juni 04, 2008

Pembelajaran Berbasis Masalah

Disunting dari tulisan :

( I Wayan Dasna dan Sutrisno )

FMIPA - UNM Malang

APAKAH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PBL) ITU?

Untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, para ahli pembelajaran telah menyarankan penggunaan paradigma pembelajaran konstruktivistik untuk kegiatan belajar-mengajar di kelas. Dengan perubahan paradigma belajar tersebut terjadi perubahan pusat (fokus) pembelajaran dari belajar berpusat pada guru kepada belajar berpusat pada siswa. Dengan kata lain, ketika mengajar di kelas, guru harus berupaya menciptakan kondisi lingkungan belajar yang dapat membelajarkan siswa, dapat mendorong siswa belajar, atau memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif mengkonstruksi konsep-konsep yang dipelajarinya. Kondisi belajar dimana siswa/mahasiswa hanya menerima materi dari pengajar, mencatat, dan menghafalkannya harus diubah menjadi sharing pengetahuan, mencari (inkuiri), menemukan pengetahuan secara aktif sehingga terjadi peningkatan pemahaman (bukan ingatan). Untuk mencapai tujuan tersebut, pengajar dapat menggunakan pendekatan, strategi, model, atau metode pembelajaran inovatif.

Pembelajaran berbasis masalah (Probelem-based learning), selanjutnya disingkat PBL, merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah (Ward, 2002; Stepien, dkk.,1993). Lebih lanjut Boud dan felleti, (1997), Fogarty(1997) menyatakan bahwa PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar (siswa/mahasiswa) dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar. PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa/mahasiswa, (3) mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada pebelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut pebelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja. Berdasarkan uraian tersebut tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model PBL dimulai oleh adanya masalah (dapat dimunculkan oleh siswa atau guru), kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memecahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar.

Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat diselesaikan siswa melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi pengalaman-pengalaman belajar yang beragam pada siswa seperti kerjasama dan interaksi dalam kelompok, disamping pengalaman belajar yang berhubungan dengan pemecahan masalah seperti membuat hipotesis, merancang percobaan, melakukan penyelidikan, mengumpulkan data, menginterpretasikan data, membuat kesimpulan, mempresentasikan, berdiskusi, dan membuat laporan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa model PBL dapat memberikan pengalaman yang kaya kepada siswa. Dengan kata lain, penggunaan PBL dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang mereka pelajari sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya dalam kondisi nyata pada kehidupan sehari-hari.

MENGAPA MENGGUNAKAN PBL?

PBL merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik konstruktivisme. Dalam model PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga pebelajar tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh sebab itu, pebelajar tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan ketrampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis.

Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah, apalagi kalau masalah tersebut bersifat kontekstual, maka dapat terjadi ketidaksetimbangan kognitif pada diri pebelajar. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacam-macam pertanyaan disekitar masalah seperti “apa yang dimaksud dengan....”, “mengapa bisa terjadi....”, “bagaimana mengetahuinya...” dan seterusnya. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah muncul dalam diri pebelajar maka motivasi intrinsik mereka untuk belajar akan tumbuh. Pada kondisi tersebut diperlukan peran guru sebagai fasilitator untuk mengarahkan pebelajar tentang “konsep apa yang diperlukan untuk memecahkan masalah”, “apa yang harus dilakukan” atau “bagaimana melakukannya” dan seterusnya. Dari paparan tersebut dapat diketahi bahwa penerapan PBL dalam pembelajaran dapat mendorong siswa/mahasiswa mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri. Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dimana berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada bagaimana dia membelajarkan dirinya.

Lebih lanjut Arends (2004) menyatakan bahwa ada tiga hasil belajar (outcomes) yang diperoleh pebelajar yang diajar dengan PBL yaitu: (1) inkuiri dan ketrampilan melakukan pemecahan masalah, (2) belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan (3) ketrampilan belajar mandiri (skills for independent learning). Inkuiri dan ketrampilan proses dalam pemecahan masalah telah dipaparkan sebelumnya. Siswa yang melakukan inkuiri dalam pempelajaran akan menggunakan ketrampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skill) dimana mereka akan melakukan operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan reasoning. PBL juga bertujuan untuk membantu pebelajar siswa/mahasiswa belajar secara mandiri.

Pembelajaran PBL dapat diterapkan bila didukung lingkungan belajar yang konstruktivistik. Lingkungan belajar konstruktivistik mencakup beberapa faktor yaitu (Jonassen dalam Reigeluth (Ed), 1999:218): kasus-kasus berhubungan, fleksibelitas kognisi, sumber-sumber informasi, cognitive tools, pemodelan yang dinamis, percakapan dan kolaborasi, dan dukungan sosial dan kontekstual.

Kasus-kasus berhubungan, membantu pebelajar untuk memahami pokok-pokok permasalahan secara implisit. Kasus-kasus berhubungan dapat membantu siswa/mahasiswa belajar mengidentifikasi akar masalah atau sumber masalah utama yang berdampak pada munculnya masalah yang lain. Kegiatan belajar seperti itu dapat membantu pebelajar meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari.

Fleksibelitas kognisi merepresentasi materi pokok dalam upaya memahami kompleksitas yang berkaitan dengan domain pengetahuan. Fleksibelitas kognisi dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan bagi pebelajar untuk memberikan ide-idenya, yang menggambarkan pemahamannya terhadap permasalahan. Fleksibelitas kognisi dapat menumbuhkan kreativitas berpikir divergen didalam mempresentasikan masalah. Dari masalah yang siswa/mahasiswa tetapkan, mereka dapat mengembangkan langkah-langkah pemecahan masalah, mereka dapat mengemukakan ide pemecahan yang logis. Ide-ide tersebut dapat didiskusikan dahulu dalam kelompok kecil sebelum dilaksanakan.

Sumber-sumber informasi, bermanfaat bagi pebelajar dalam menyelidiki permasalahan. Informasi dikonstruksi dalam model mental dan perumusan hipotesis yang menjadi titik tolak dalam memanipulasi ruang permasalahan. Dalam konteks belajar sains (kimia), pengetahuan sains yang dimiliki siswa terhadap masalah yang dipecahkan dapat digunakan sebagai acuan awal dan dalam penelusuran bahan pustaka sesuai dengan masalah yang mereka pecahkan.

Cognitive tools, merupakan bantuan bagi pelajar untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan tugas-tugasnya. Cognitive tools membantu pebelajar untuk merepresentasi apa yang diketahuinya atau apa yang dipelajarinya, atau melakukan aktivitas berpikir melalui pemberian tugas-tugas.

Pemodelan yang dinamis, adalah pengetahuan yang memberikan cara-cara berpikir dan menganalisis, mengorganisasi, dan memberikan cara untuk mengungkapkan pemahaman mereka terhadap suatu fenomena. Pemodelan membantu mahasiswa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, “apa yang saya ketahui” dan “apa artinya”.

Percakapan dan kolaborasi, dilakukan dengan diskusi dalam proses pemecahan masalah. Diskusi secara tidak resmi dapat menumbuhkan suasana kolaborasi. Diskusi yang intensif dimana terjadi proses menjelaskan dan memperhatikan penjelasan peserta diskusi dapat membatu siswa mengembangkan komunikasi ilmiah, argumentasi yang logis, dan sikap ilmiah.

Dukungan sosial dan kontekstual, berhubungan dengan bagaimana masalah yang menjadi fokus pembelajaran dapat membuat pebelajar termotivasi untuk memecahkannya. Dukungan sosial dalam kelompok, adanya kondisi yang saling memotivasi antar pebelajar dapat menumbuhkan kondisi ini. Suasana kompetitif antar kelompok juga dapat mendukung kinerja kelompok. Dukungan sosial dan kontekstual hendaknya dapat diakomodasi oleh para guru/dosen untuk mensukseskan pelaksanaan pembelajaran.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa PBL sebaiknya digunakan dalam pembelajaran karena: (1) Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Siswa/mahasiswa yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Artinya belajar tersebut ada pada konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa/mahasiswa berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan; (2) Dalam situasi PBL, siswa/mahasiswa mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga masalah-masalah dalam aplikasi suatu konsep atau teori mereka akan temukan sekaligus selama pembelajaran berlangsung; dan (3) PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa/mahasiswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.

Gejala umum yang terjadi pada siswa dan mahasiswa pada saat ini adalah “malas berpikir” mereka cenderung menjawab suatu pertanyaan dengan cara mengutip dari buku atau bahan pustaka lain tanpa mengemukakan pendapat atau analisisnya terhadap pendapat tersebut. Bila keadaan ini berlangsung terus maka siswa atau mahasiswa akan mengalami kesulitan mengaplikasikan pengetahuan yang diperolehnya di kelas dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, pelajaran di kelas adalah untuk memperoleh nilai ujian dan nilai ujian tersebut belum tentu relevan dengan tingkat pemahaman mereka. Oleh sebab itu, model PBL mungkin dapat menjadi salah satu solusi untuk mendorong siswa/mahasiswa berpikir dan bekerja ketimbang menghafal dan bercerita.

BAGIMANA MENGIMPLEMENTASIKAN PBL DALAM PEMBELAJARAN ?

Ada beberapa cara menerapkan PBL dalam pembelajaran. Secara umum penerapan model ini mulai dengan adanya masalah yang diharus dipecahkan atau dicari pemecahannya oleh siswa/mahasiswa. Masalah tersebut dapat berasal dari siswa/mahasiswa atau mungkin juga diberikan oleh pengajar. Siswa akan memusatkan pembelajaran di sekitar masalah tersebut, dengan arti lain, siswa belajar teori dan metode ilmiah agar dapat memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatiannya.

Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah. Dengan demikian siswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Oleh sebab itu, penggunaan PBL dapat memberikan pengalaman belajar melakukan kerja ilmiah yang sangat baik kepada siswa. Langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran PBL paling sedikit ada delapan tahapan (Pannen, 2001), yaitu: (1) mengidentifikasi masalah, (2) mengumpulkan data, (3) menganalisis data, (4) memecahkan masalah berdasarkan pada data yang ada dan analisisnya, (5) memilih cara untuk memecahkan masalah, (6) merencanakan penerapan pemecahan masalah, (7) melakukan ujicoba terhadap rencana yang ditetapkan, dan (8) melakukan tindakan (action) untuk memecahkan masalah. Empat tahap yang pertama mutlak diperlukan untuk berbagai kategori tingkat berfikir, sedangkan empat tahap berikutnya harus dicapai bila pembelajaran dimaksudkan untuk mencapai keterampilan berfikir tingkat tinggi (higher order thinking skills). Dalam proses pemecahan masalah sehari-hari, seluruh tahapan terjadi dan bergulir dengan sendirinya, demikian pula keterampilan seseorang harus mencapai seluruh tahapan tersebut.

Langkah mengidentifikasi masalah merupakan tahapan yang sangat penting dalam PBL. Pemilihan masalah yang tepat agar dapat memberikan pengalaman belajar yang mencirikan kerja ilmiah seringkali menjadi ”masalah” bagi guru dan siswa. Artinya, pemilihan masalah yang kurang luas, kurang relevan dengan konteks materi pembelajaran, atau suatu masalah yang sangat menyeimpang dengan tingkat berpikir siswa dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran. Oleh sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh guru/dosen pada tahap ini. Walaupun guru/dosen tidak melakukan intervensi terhadap masalah tetapi dapat memfokuskan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan agar siswa/mahasiswa melakukan refleksi lebih dalam terhadap masalah yang dipilih. Dalam hal ini guru/dosen harus berperan sebagai fasilitator agar pembelajaran tetap pada bingkai yang direncanakan.

Suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam PBL adalah pertanyaan berbasis why bukan sekedar how. Oleh karena itu, setiap tahap dalam pemecahan masalah, keterampilan mahasiswa dalam tahap tersebut hendaknya tidak semata-mata keterampilan how, tetapi kemampuan menjelaskan permasalahan dan bagaimana permasalahan dapat terjadi. Tahapan dalam proses pemecahan masalah digunakan sebagai kerangka atau panduan dalam proses belajar melalui PBL. Namun yang harus dicapai pada akhir pembelajaran adalah kemampuannya untuk memahami permasalahan dan alasan timbulnya permasalahan tersebut serta kedudukan permasalahan tersebut dalam tatanan sistem yang sangat luas. Apalagi jika PBL digunakan untuk proses pembelajaran di perguruan tinggi.

Lebih lanjut Arends (2004) merinci langkah-langkah pelaksanaan PBL dalam pengajaran. Arends mengemukakan ada 5 fase (tahap) yang perlu dilakukan untuk mengimplementasikan PBL. Fase-fase tersebut merujuk pada tahap-tahapan praktis yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran dengan PBL sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sintaks Problem Based Learning

Fase

Aktivitas guru

Fase 1:

Mengorientasikan siswa pada masalah

Menjelaskan tujuan pembelajaran, logistik yang diperlukan, memotivasi siswa terlibat aktif pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilih

Fase 2:

Mengorganisasi siswa untuk belajar

Membantu siswa membatasi dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi

Fase 3:

Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok

Mendorong siswa mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, dan mencari untuk penjelasan dan pemecahan

Fase 4:

Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Membantu siswa merencanakan dan menyi-apkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.

Fase 5:

Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Membantu siswa melakukan refleksi terhadap penyelidikan dan proses-proses yang digunakan selama berlangusungnya pemecahan masalah.

Fase 1: Mengorientasikan siswa pada masalah

Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan. Dalam penggunaan PBL, tahapan ini sangat penting dimana guru harus menjelaskan dengan rinci apa yang harus dilakukan oleh siswa/mahasiswa dan juga oleh dosen. Disamping proses yang akan berlangsung, sangat penting juga dijelaskan bagaimana guru/dosen akan mengevaluasi proses pembelajaran. Hal ini sangat penting untuk memberikan motivasi agar siswa dapat engage dalam pembelajaran yang akan dilakukan. Sutrisno (2006) menekankan empat hal penting pada proses ini, yaitu: (1) Tujuan utama pengajaran ini tidak untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru, tetapi lebih kepada belajar bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadi mahasiswa yang mandiri, (2) Permasalahan dan pertanyaan yang diselidiki tidak mempunyai jawaban mutlak “benar“, sebuah masalah yang rumit atau kompleks mempunyai banyak penyelesaian dan seringkali bertentangan, (3) Selama tahap penyelidikan (dalam pengajaran ini), mahasiswa didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi. Guru akan bertindak sebagai pembimbing yang siap membantu, namun mahasiswa harus berusaha untuk bekerja mandiri atau dengan temannya, dan (4) Selama tahap analisis dan penjelasan, mahasiswa akan didorong untuk menyatakan ide-idenya secara terbuka dan penuh kebebasan. Tidak ada ide yang akan ditertawakan oleh guru atau teman sekelas. Semua mahasiswa diberi peluang untuk menyumbang kepada penyelidikan dan menyampaikan ide-ide mereka.

Fase 2: Mengorganisasikan siswa untuk belajar

Disamping mengembangkan ketrampilan memecahkan masalah, pembelajaran PBL juga mendorong siswa belajar berkolaborasi. Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan kerjasama dan sharing antar anggota. Oleh sebab itu, guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok siswa dimana masing-masing kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip pengelompokan siswa dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti: kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Guru/dosen sangat penting memonitor dan mengevaluasi kerja masing-masing kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika kelompok selama pembelajaran.

Setelah mahasiswa diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk kelompok belajar selanjutnya guru dan mahasiswa menetapkan subtopik-subtopik yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal. Tantangan utama bagi guru pada tahap ini adalah mengupayakan agar semua mahasiswa aktif terlibat dalam sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil penyelidikan ini dapat menghasilkan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.

Fase 3: Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok

Penyelidikan adalah inti dari PBL. Meskipun setiap situasi permasalahan memerlukan teknik penyelidikan yang berbeda, namun pada umumnya tentu melibatkan karakter yang identik, yakni pengumpulan data dan eksperimen, berhipotesis dan penjelasan, dan memberikan pemecahan. Pengumpulan data dan eksperimentasi merupakan aspek yang sangat penting. Pada tahap ini, guru harus mendorong mahasiswa untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen (mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi permasalahan. Tujuannya adalah agar mahasiswa mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Pada fase ini seharusnya lebih dari sekedar membaca tentang masalah-masalah dalam buku-buku. Guru membantu mahasiswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, dan ia seharusnya mengajukan pertanyaan pada mahasiswa untuk berifikir tentang massalah dan ragam informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat dipertahankan.

Setelah siswa mengumpulkan cukup data dan memberikan permasalahan tentang fenomena yang mereka selidiki, selanjutnya mereka mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelesan, dan pemecahan. Selama pengajaran pada fase ini, guru mendorong siswa untuk menyampikan semua ide-idenya dan menerima secara penuh ide tersebut. Guru juga harus mengajukan pertanyaan yang membuat mahasiswa berfikir tentang kelayakan hipotesis dan solusi yang mereka buat serta tentang kualitas informasi yang dikumpulkan. Pertanyaan-pertanyaan berikut kiranya cukup memadai untuk membangkitkan semangat penyelidikan bagi siswa. “Apa yang Anda butuhkan agar Anda yakin bahwa pemecahan dengan cara Anda adalah yang terbaik?” atau “Apa yang dapat Anda lakukan untuk menguji kelayakan pemecahanmu?” atau “Apakah ada solusi lain yang dapat Anda usulkan?”. Oleh karena itu, selama fase ini, guru harus menyediakan bantuan yang dibutuhkan tanpa mengganggu aktivitas mahasiswa dalam kegaitan penyelidikan.

Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan artifak (hasil karya) dan mempamerkannya

Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artifak (hasil karya) dan pameran. Artifak lebih dari sekedar laporan tertulis, namun bisa suatu videotape (menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan), model (perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program komputer, dan sajian multimedia. Tentunya kecanggihan artifak sangat dipengaruhi tingkat berfikir mahasiswa. Langkah selanjutnya adalah mempamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator pameran. Akan lebih baik jika dalam pemeran ini melibatkan mahasiswa-mahasiswa lainnya, guru-guru, orangtua, dan lainnya yang dapat menjadi “penilai” atau memberikan umpan balik.

Fase 5: Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah

Fase ini merupakan tahap akhir dalam PBL. Fase ini dimaksudkan untuk membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan kete-rampilan penyelidikan dan intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini guru meminta mahasiswa untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya. Kapan mereka pertama kali memperoleh pemahaman yang jelas tentang situasi masalah? Kapan mereka yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa mereka dapat menerima penjelasan lebih siap dibanding yang lain? Mengapa mereka menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi pemecahan akhir dari mereka? Apakah mereka berubah pikiran tentang situasi masalah ketika penyelidikan berlangsung? Apa penyebab perubahan itu? Apakah mereka akan melakukan secara berbeda di waktu yang akan datang? Tentunya masih banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan untuk memberikan umpan balik dan menginvestigasi kelemahan dan kekuatan PBL untuk pengajaran.

PBL telah banyak diterapkan dalam pengajaran sains. Gallagher, dkk. (1995) menyatakan bahwa PBL dapat dan perlu termasuk untuk eksperimentasi sebagai suatu alat untuk memecahkan masalah. Mereka menggunakan suatu kerangka kerja yang menekankan bagaimana para mahasiswa merencanakan suatu eksperimen untuk menjawab sederet pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Gallagher berbasis pada “what do I know”, “what do I need to know”, “what do I need to learn”, dan “how do I measure or describe the result”. Selama fase merancang eksperimen berbasis masalah, para mahasiswa mengembangkan suatu protokol yang mendaftar setiap tahap dalam eksperimen itu. Dalam protokol ini, tampak ada kecenderungan yang khas seperti standar perencanaan laboratorium, menjadi suatu tuntunan metakognitif bagi para mahasiswa untuk digunakan dalam pengembangan eksperimen selanjutnya. Penerapan dengan model ini cukup berhasil serta mendukung bahwa PBL dapat mempelopori penggunaan perencanaan laboratorium melalui metode nontradisional.

Model problem based learning telah digunakan oleh para ahli dalam pembelajaran kimia dan turunannya, antara lain pengajaran Biokimia oleh Dods (1996), pembelajaran kimia sintesis bahan alam kompleks oleh Cannon dan Krow (1998), Yu Ying (2003) dalam pengajaran elektrokimia, dan Liu Yu (2004) dalam pengajaran kimia analitik.

Liu Yu (2004, Dosen Jurusan Kimia Univ. Tianjin China) menggunakan PBL dalam pengajaran Kimia Analitik. Menurut Liu Yu, PBL adalah suatu pembelajaran yang didorong atau ditandai oleh adanya masalah, bukan oleh konsep yang abstrak. Idealnya, masalah tersebut dapat ditemukan atau diperoleh dalam kehidupan nyata, dan tidak cepat terselesaikan tetapi dapat diselesaikan dengan mudah. Dalam merancang kegiatan perkuliahan ini Liu Yu memerlukan waktu 40 jam kuliah dan 32 jam kerja laboratorium. Tujuan perkuliahan adalah: (1) Meningkatkan pengertian lebih mendalam tentang prinsip kimia analitik yang meliputi: sampling, preparasi sampel, separasi, teknik klasik, teknik instrumentasi: spektroskopi, kromatografi, elektrokimia, dan jaminan mutu, (2) Meningkatkan keterampilan teknis kimia analitik dan keterampilan lain pada umumnya, dan (3) Membantu mahasiswa mengembangkan suatu pengertian dan pemahaman yang lebih (mendalam) dan apresiasi terhadap sains.

Prosedur pengembangan PBL yang dilakukan Liu Yu sebagai berikut:

Langkah-langkah/tahapan dalam PBL yang dilalui sbb:

Problem/Masalah: orientasi permasalahan seperti diuraikan pada bagian berikut.

Perkuliahan: mahaiswa dibekali prinsip-prinsip dasar metode analitik, dan pengantar menggunakan internet dan perpustakaan untuk menemukan bahan-bahan yang relevan. Tentunya: bagi yang sudah familier dengan internet yang kedua ini tidak terlalu bermanfaat, dan mereka boleh menghindarinya.

Melacak literatur: berlangsung di luar kelas, mahasiswa menggunakan perpustakaan dan internet untuk memperoleh sumber informasi dalam rangka pemecahan masalah

Seminar: mahasiswa menyampaikan informasi/gagasan/ide yang telah ditemukan, mendisikusikan masalah dan tukar gagasan.

Tutorial: apabila mahasiswa mempunyai berbagai pertanyaan, mereka dapat menanyakan kepada dosen selama sesi tutorial ini. Tutor bertindak untuk mengobesrvasi, membimbing, dan mendukung. Setelah mahasiswa menemukan suatu pemecahan, selanjutnya mereka dapat mempersiapkan untuk eksperimen

Demonstrasi: sebelum mahasiswa melaksanakan eksperimen, dosen dapat mendemonstrasikan (dihadapan mahasiswa) bagaimana mengoperasikan instrumen yang akan digunakan, dan mengenalkan aspek mana yang mendapat perhatian lebih.


Selasa, Juni 03, 2008

Pertemuan MKKS SMK Negeri Kab. Madiun

Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMK Negeri Kab. Madiun melaksanakan pertemuan di SMK Negeri 1 Geger tanggal 2 Juni 2008 dengan agenda pertemuan sebagai berikut :
  1. Pembahasan Penerimaan Siswa Baru Tahun Pelajaran 2008/2009
  2. Pembahasan BKSM untuk SMK dan langkah-langkah penggunaannya.
  3. Pembahasan Penempatan Guru
  4. Lain-lain
Hasil pembahasan tentang PSB disepakati sebagai berikut :
  1. Pagu SMK diharapkan tetap 40 siswa/kelas
  2. Seleksi PSB SMK selain didasarkan pada Nilai Ujian Nasional juga didasarkan pada Tes Kesehatan dan Tes wawancara, serta memperhatikan prestasi akademik maupun non akademik.
  3. Biaya pendaftaran Siswa Baru diusulkan kepada Dinas Pendidikan sebesar Rp. 25.000,-

Susunan Pengurus MKKS SMKN Kab. Madiun

Susunan Pengurus Musyawarah Kerja Kepala Sekolah Kabupaten Madiun :

Ketua : Drs. Suwono, M.Pd. (Kep. SMKN 1 Wonoasri)
Sekretaris : Sudarman, S.Pd. M.KPd. (Kep. SMKN 1 Geger)
Bendahara : Drs. Salimun (Kep. SMKN 2 Jiwan
Anggota :
Drs. Mudjijono (Kep. SMKN 1 Kare)
Drs. Eddy Sudaryanto, S.T (Kep. SMKN 1 Kebonsari)
Sunardi, S.Pd. (Kep. SMKN 1 Jiwan)


Alamat Sekretariat : Jl. Raya Desa Nglandung Kec. Geger Madiun
Telp./Fax. (0351)366099
Contak Person : Sudarman, S.Pd. M.KPd. (081335622369)